Jumat, 02 Agustus 2013

Mengembalikan Kelestarian Situs Warisan Dunia


Berlibur ke Kota Medan tidaklah seru kalau hanya berkeliling di dalam kota ini saja. Sedikit bergeser keluar Medan juga tidak masalah! Banyak destinasi seru yang bisa traveler datangi, seperti di Taman Nasional Gunung Leuser.  Taman Nasional Gunung Leuser yang luasnya 1.094.692 hektar dan sebagian besar terdapat di daerah Sumatera Utara (langkat) dan NAD ini mempunyai daya tarik yang sangat besar. Selain dapat melihat orangutan, berbagai jenis flora dan fauna yang diantaranya tergolong langka, panorama yang indah, hutan alam yang asri, wisatawan juga  bisa melakukan trekking, rafting, caving dan lain-lain, kegiatan wisata yang berbasis kepada alam bebas dan menguji adrenalin para wisatawan. Berbicara mengenai daya tarik, pastilah ada bagian-bagian tertentu yang mendukungnya, diantaranya yaitu kondisi alam TNGL. 
Taman wisata Bukit Lawang  memberikan banyak keindahan yang dapat memanjakan mata para wisatawan. Di Taman Nasional Gunung Leuser banyak keistimewaannya, salah satunya dapat dilihat dari Hutan Gunung Leuser yang sangat lebat, berkhas hutan pantai  dan hutan hujan tropis. Di dalamnya terdapat beberapa sungai, danau, sumber  air panas, lembah, dan air terjun. Ekosistem alamnya sangat indah dan beragam  yang meliputi dataran rendah (pantai) hingga pengunungan. Terdapat beragam satwa langka yang dilindungi, seperti kucing hutan, harimau Sumatera, rangkong, Orangutan (yang menjadi daya tarik utama), siamang, ular,  kupu-kupu, burung, gajah Sumatera, badak Sumatera, kambing hutan, dan rusa  sambar. Selain itu, terdapat tumbuhan langka, seperti bunga raksasa “Rhizanthes  zippelnii” yang berdiameter 1,5 meter, bunga raflesia, dan daun  payung raksasa.. Bagaimana tidak, saat ini kondisi TNGL tak seasri sediakala. Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan.
Hal ini disebabkan karena banyaknya warga di sekitar daerah tersebut membangun villa, rumah, atau kebun. Sekarang tampaknya sudah seperti pasar, padat sepadat-padatnya. Di badan sungai misalnya, di sana telah dibangun bangunan sampai minimal 15 meter dari tepi sungai, seharusnya hal itu tak boleh terjadi demi keselamatan dan kelestarian sungai. Belum lagi dua bentuk pembalakan liar yang terjadi di kawasan ini. Pertama pemanfaatan lahan di luar kehutanan dan yang paling merusak serta memusnahkan ekosistem hayati adalah kegiatan konservasi hutan, terutama alih fungsi hutan yang menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Meskipun illegal, sering kali konservasi di akui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Mungkin penyebab utamanya adalah dorongan ekonomi yang membuat masyarakat lupa akan risiko yang mengancam nyawa dan hartanya.
Perusakan hutan yang dilakukan oleh segelintir orang (pemodal besar) terus berlanjut. Bahkan aktivitas perusakan ini juga melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat. Mereka dijadikan sebagai alat oleh pemodal besar untuk memuluskan kepentingan ekonominya mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologinya. Konsekuensinya, upaya untuk menyelamatkan hutan di negeri ini sangatlah sulit. Karena banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan dari aktivitas perusakan hutan, yang sebenarnya untuk kepentingan sesaat.
Kerusakan hutan pun semakin parah dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh wilayah TNGL, di tahun 2000 yang rusak mencapai 652.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar, luas kerusakan TNGL yang masuk wilayah Langkat mencapai 22.000 hektar. Berdasarkan Badan Statistik tahun 2004, luas total TNGL di Langkat tinggal 213.985 hektar yang masih utuh.
Dari enam taman nasional di Sumatera, semuanya dalam kondisi krisis. Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan Sumut) telah rusak seluas 112. 100 hektar, Taman Nasional Teso Nilo (Riau) seluas 28.500 hektar, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi) seluas 1.000 hektar, Taman Nasional Kerinci Seblat (Jambi) seluas 200.000 hektar, Taman Nasional Berbak (Jambi) seluas 32.000 hektar, Taman Nasional Bukit Duabelas (Jambi) seluas 3.000 hektar, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) seluas 61.000 hektar. Jika dijumlah, maka kerusakan taman nasional di Sumatera adalah seluas 437.600 hektar. Taman-taman nasional lain yang di luar Sumatera pun bernasib sama.
Memang kerusakan hutan bukan hanya disebabkan oleh kepentingan investor dari alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan HTI. Tetapi juga karena pembalakan liar, permukiman penduduk, dan pembangunan jalan. Meskipun demikian, alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Taman nasional pun ikut dialihfungsikan seperti di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah beroperasi 40 perusahaan pertmabangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Pihak yang paling diuntungkan dari kerusakan hutan ini adalah para konglomerat. Sementara mereka yang ikut terlibat dalam aktivitas perusakan hutan ini seperti perambah, pemberi izin, dan pelindung keamanan, hanya memperoleh “recehan-recehan” dari keuntungan para konglomerat yang berlipat-lipat bahkan berkuadrat-kuadrat. Kemudian pemilik modal (asing) tersebut benar-benar dimanjakan oleh pejabat di negeri ini. Seolah-olah pejabat menjadi satuan pengaman aktivitas ekonomi mereka.
Di sisi lain, begitu besar dampak buruk yang ditimbulkan akibat perusakan hutan ini. Misalnya konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan. Dan secara umum, masyarakat (adat) lah yang terusir dari tanahnya sendiri akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan kawasan pertambangan. Pemerintah tetap berpihak kepada pemilik modal. Konflik lahan ini sampai sekarang terus terjadi, dan bisa makin meluas ketika tidak diselesaikan secara tuntas.
Jika penyelesaiannya tetap menggunakan sisi legal formal atau hukum positif, maka bisa dipastiakan, masyarakat akan tetap menjadi pihak yang kalah dan persoalan tidak akan selesai. Hal ini dapat kita lihat dalam penyelesaian kasus Mesuji yang hingga hari ini berjalan di tempat. Sialnya, masyarakat adat yang tergusur dari tanahnya akibat konflik sumber daya hutan, tidak mendapatkan kompensasi apa pun dari negara.
Selain menimbulkan konflik, perusakan hutan tentu akan menghadirkan bencana alam (banjir, erosi, tanah longsor), pemanasan global, hilangnya flora dan fauna, yang berdampak buruk bagi kehidupan. Jika kita melihat efek jangka panjang, maka kerugian akibat kerusakan hutan sangat jauh lebih besar daripada keuntungan dari eksploitasi hutan.
Ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap Taman Nasional Gunung Leuser ini.  Masih belum terlihat peranan pemerintah dalam kasus ini. Anehnya, di saat hutan kita sedang dalam krisis, justru pemerintah pusat dan daerah saling melempar tanggung jawab. Bahkan lebih parahnya, sejumlah pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi hutan menjadi areal penggunaan lain kepada Kementerian Kehutanan.
Sudah saatnya Bappeda Langkat, Dinas PUD, Kantor Pariwisata Seni dan Budaya mau pun masyarakat sekitarnya duduk bersama membahas kumuhnya kawasan wisata tersebut. Sudah saatnya kita memberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya para petani yang ingin atau yang sedang menggeluti usaha perkebunan kelapa sawit bahwa tindakan seperti yang mereka lakukan itu bukanlah solusi yang tepat untuk mengurangi pemanasan global dan menciptakan kelestarian lingkungan. Memang benar, kelapa sawit sangatlah memberikan keuntungan yang besar buat menopang perekonomian  yang tinggi. Akan tetapi jika ditinjau dari segi lingkungan kelapa sawit malah memperparah pemanasan global dan krisis air yang berkepanjangan.  Karena tanaman sawit menyerap 40 liter air per harinya, dan ini tentunya akan mengurangi cadangan air di dalam tanah yang semestinya dapat menjadi persediaan di musim kemarau.
Pemerintah juga perlu mengambil tindakan  seperti  penegakan hukum dan sanksi yang amat berat baik sanksi pidana maupun sanksi perdata kepada para pelaku yang melakukan pembalakan liar.

Bersama-sama mengembalikan hutan pada posisi  seperti semula. Posisi di mana hutan merupakan paru-paru dunia. Dengan begitu, kita dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar dari pada mengeksploitasinya secara berlebihan. Hutan dengan kondisi natural dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia.  Sungai yang mengalir jernih  sebagai sumber air bersih, ekosistem yang terjaga, hutan-hutan yang mampu menyerap air hujan dan menghasilkan udara yang lebih baik bagi kehidupan. Disamping hutan yang terjaga dapat dijadikan ekowisata, laboratorium alam, dan sebagainya. Eksploitasinya harus segera ditinggalkan demi kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi. 

0 komentar:

Posting Komentar