Berlibur ke Kota Medan tidaklah seru kalau hanya berkeliling di dalam kota
ini saja. Sedikit bergeser keluar Medan juga tidak masalah! Banyak destinasi
seru yang bisa traveler datangi, seperti di Taman Nasional Gunung Leuser.
Taman Nasional Gunung Leuser yang luasnya 1.094.692 hektar dan sebagian besar
terdapat di daerah Sumatera Utara (langkat) dan NAD ini mempunyai daya tarik
yang sangat besar. Selain dapat melihat orangutan, berbagai jenis flora dan
fauna yang diantaranya tergolong langka, panorama yang indah, hutan alam yang
asri, wisatawan juga bisa melakukan trekking, rafting, caving dan
lain-lain, kegiatan wisata yang berbasis kepada alam bebas dan menguji
adrenalin para wisatawan. Berbicara mengenai daya tarik, pastilah ada
bagian-bagian tertentu yang mendukungnya, diantaranya yaitu kondisi alam TNGL.
Taman wisata Bukit Lawang memberikan banyak keindahan yang dapat
memanjakan mata para wisatawan. Di Taman Nasional Gunung Leuser banyak
keistimewaannya, salah satunya dapat dilihat dari Hutan Gunung Leuser yang
sangat lebat, berkhas hutan pantai dan hutan hujan tropis. Di dalamnya
terdapat beberapa sungai, danau, sumber air panas, lembah, dan air
terjun. Ekosistem alamnya sangat indah dan beragam yang meliputi dataran
rendah (pantai) hingga pengunungan. Terdapat beragam satwa langka yang
dilindungi, seperti kucing hutan, harimau Sumatera, rangkong, Orangutan (yang
menjadi daya tarik utama), siamang, ular, kupu-kupu, burung, gajah
Sumatera, badak Sumatera, kambing hutan, dan rusa sambar. Selain itu,
terdapat tumbuhan langka, seperti bunga raksasa “Rhizanthes zippelnii”
yang berdiameter 1,5 meter, bunga raflesia, dan daun payung raksasa..
Bagaimana tidak, saat ini kondisi TNGL tak seasri sediakala. Saat ini
kondisinya sangat memprihatinkan.
Hal ini disebabkan karena banyaknya warga di sekitar daerah tersebut
membangun villa, rumah, atau kebun. Sekarang tampaknya sudah seperti pasar,
padat sepadat-padatnya. Di badan sungai misalnya, di sana telah dibangun
bangunan sampai minimal 15 meter dari tepi sungai, seharusnya hal itu tak boleh
terjadi demi keselamatan dan kelestarian sungai. Belum lagi dua bentuk
pembalakan liar yang terjadi di kawasan ini. Pertama pemanfaatan lahan di luar
kehutanan dan yang paling merusak serta memusnahkan ekosistem hayati adalah
kegiatan konservasi hutan, terutama alih fungsi hutan yang menjadi areal
perkebunan kelapa sawit. Meskipun illegal, sering kali konservasi di akui
sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Mungkin
penyebab utamanya adalah dorongan ekonomi yang membuat masyarakat lupa akan
risiko yang mengancam nyawa dan hartanya.
Perusakan hutan yang dilakukan oleh segelintir
orang (pemodal besar) terus berlanjut. Bahkan aktivitas perusakan ini juga
melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat. Mereka dijadikan sebagai
alat oleh pemodal besar untuk memuluskan kepentingan ekonominya mengeksploitasi
hutan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologinya. Konsekuensinya,
upaya untuk menyelamatkan hutan di negeri ini sangatlah sulit. Karena banyak
pihak yang terlibat dan diuntungkan dari aktivitas perusakan hutan, yang
sebenarnya untuk kepentingan sesaat.
Kerusakan hutan pun semakin parah dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1985
yang rusak masih 229.570,27 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh
wilayah TNGL, di tahun 2000 yang rusak mencapai 652.482,17 hektar dan yang
gundul 262.564,67 hektar, luas kerusakan TNGL yang masuk wilayah Langkat
mencapai 22.000 hektar. Berdasarkan Badan Statistik tahun 2004, luas total TNGL
di Langkat tinggal 213.985 hektar yang masih utuh.
Dari enam taman nasional di Sumatera, semuanya
dalam kondisi krisis. Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan Sumut) telah rusak
seluas 112. 100 hektar, Taman Nasional Teso Nilo (Riau) seluas 28.500 hektar,
Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi) seluas 1.000 hektar, Taman Nasional
Kerinci Seblat (Jambi) seluas 200.000 hektar, Taman Nasional Berbak (Jambi)
seluas 32.000 hektar, Taman Nasional Bukit Duabelas (Jambi) seluas 3.000
hektar, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) seluas 61.000
hektar. Jika dijumlah, maka kerusakan taman nasional di Sumatera adalah seluas
437.600 hektar. Taman-taman nasional lain yang di luar Sumatera pun bernasib
sama.
Memang kerusakan hutan bukan hanya disebabkan
oleh kepentingan investor dari alih fungsi hutan untuk perkebunan,
pertambangan, dan HTI. Tetapi juga karena pembalakan liar, permukiman penduduk,
dan pembangunan jalan. Meskipun demikian, alih fungsi hutan untuk perkebunan
dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Taman nasional pun
ikut dialihfungsikan seperti di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah beroperasi
40 perusahaan pertmabangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Pihak yang paling diuntungkan dari kerusakan
hutan ini adalah para konglomerat. Sementara mereka yang ikut terlibat dalam
aktivitas perusakan hutan ini seperti perambah, pemberi izin, dan pelindung
keamanan, hanya memperoleh “recehan-recehan” dari keuntungan para konglomerat
yang berlipat-lipat bahkan berkuadrat-kuadrat. Kemudian pemilik modal (asing)
tersebut benar-benar dimanjakan oleh pejabat di negeri ini. Seolah-olah pejabat
menjadi satuan pengaman aktivitas ekonomi mereka.
Di sisi lain, begitu besar dampak buruk yang
ditimbulkan akibat perusakan hutan ini. Misalnya konflik lahan antara
masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan. Dan secara umum,
masyarakat (adat) lah yang terusir dari tanahnya sendiri akibat alih fungsi
hutan menjadi perkebunan dan kawasan pertambangan. Pemerintah tetap berpihak
kepada pemilik modal. Konflik lahan ini sampai sekarang terus terjadi, dan bisa
makin meluas ketika tidak diselesaikan secara tuntas.
Jika penyelesaiannya tetap menggunakan sisi
legal formal atau hukum positif, maka bisa dipastiakan, masyarakat akan tetap
menjadi pihak yang kalah dan persoalan tidak akan selesai. Hal ini dapat kita
lihat dalam penyelesaian kasus Mesuji yang hingga hari ini berjalan di tempat.
Sialnya, masyarakat adat yang tergusur dari tanahnya akibat konflik sumber daya
hutan, tidak mendapatkan kompensasi apa pun dari negara.
Selain menimbulkan konflik, perusakan hutan
tentu akan menghadirkan bencana alam (banjir, erosi, tanah longsor), pemanasan
global, hilangnya flora dan fauna, yang berdampak buruk bagi kehidupan. Jika
kita melihat efek jangka panjang, maka kerugian akibat kerusakan hutan sangat
jauh lebih besar daripada keuntungan dari eksploitasi hutan.
Ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengawasan ketat oleh pemerintah
terhadap Taman Nasional Gunung Leuser ini. Masih belum terlihat peranan
pemerintah dalam kasus ini. Anehnya, di saat hutan kita sedang dalam krisis, justru pemerintah pusat
dan daerah saling melempar tanggung jawab. Bahkan lebih parahnya, sejumlah
pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi hutan menjadi areal penggunaan lain
kepada Kementerian Kehutanan.
Sudah saatnya Bappeda Langkat, Dinas PUD, Kantor Pariwisata Seni dan Budaya
mau pun masyarakat sekitarnya duduk bersama membahas kumuhnya kawasan wisata
tersebut. Sudah saatnya kita memberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya
para petani yang ingin atau yang sedang menggeluti usaha perkebunan kelapa
sawit bahwa tindakan seperti yang mereka lakukan itu bukanlah solusi yang tepat
untuk mengurangi pemanasan global dan menciptakan kelestarian lingkungan.
Memang benar, kelapa sawit sangatlah memberikan keuntungan yang besar buat
menopang perekonomian yang tinggi. Akan tetapi jika ditinjau dari segi
lingkungan kelapa sawit malah memperparah pemanasan global dan krisis air yang
berkepanjangan. Karena tanaman sawit menyerap 40 liter air per harinya,
dan ini tentunya akan mengurangi cadangan air di dalam tanah yang semestinya
dapat menjadi persediaan di musim kemarau.
Pemerintah juga perlu mengambil tindakan seperti penegakan
hukum dan sanksi yang amat berat baik sanksi pidana maupun sanksi perdata
kepada para pelaku yang melakukan pembalakan liar.
Bersama-sama mengembalikan hutan pada posisi seperti semula. Posisi
di mana hutan merupakan paru-paru dunia. Dengan begitu, kita dapat memberikan
manfaat yang jauh lebih besar dari pada mengeksploitasinya secara berlebihan.
Hutan dengan kondisi natural dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan
manusia. Sungai yang mengalir jernih sebagai sumber air bersih,
ekosistem yang terjaga, hutan-hutan yang mampu menyerap air hujan dan menghasilkan
udara yang lebih baik bagi kehidupan. Disamping hutan yang terjaga dapat
dijadikan ekowisata, laboratorium alam, dan sebagainya. Eksploitasinya harus
segera ditinggalkan demi kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.
0 komentar:
Posting Komentar