Namaku
Shindi Wulandari. Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan
memiliki seorang ayah pekerja kantoran yang sibuk serta ibu yang bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Sekarang aku duduk di bangku kuliah semester pertama Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sumatera Utara. Ada
sebuah kisah menarik yang terlintas dipikiranku ketika diajak berbagi kisah
kehidupan bersama seorang ibu. Diusiaku yang sudah menginjak 19 tahun, aku
mempunyai segudang kisah hidup dididik oleh seorang ibu yang luar biasa karena
ibuku selalu ada di rumah menemani aku, abangku, dan adikku dari dulu hingga
sekarang.
Sejak kecil, ibu adalah orang yang paling dekat
bersamaku. Tak jarang, ibu itu seperti lembah curhatan masalah pribadiku yang
terkadang menambah masalah baru baginya. Sebagai anak yang baru mengerti
“dunia”, hal itu kuanggap hal yang biasa karena sebagai ibu memang sudah
seharusnya menerima masalah apapun dari seorang anak. Hingga akhirnya aku
berhasil menyelesaikan pendidikan
dasarku di SD Negeri 1 No. 020267 Binjai, Sumatera Utara dengan pujian yang
luar biasa dari guru. Pujian ini bukan karena aku selalu datang cepat ke
sekolah tapi karena prestasi di sekolah yang membanggakan.
Pendidikan pun berlanjut ke SMP Negeri 2 Binjai dan
berhasil pula menamatkan pendidikan hingga SMA Negeri 2 Binjai. Prestasi itu
ternyata bukan sebuah kebetulan, tapi terus tergores dari tinta-tinta
pikiranku. Ada beberapa kebanggaan yang kunikmati sejak kecil, yaitu selalu
mendapatkan peringkat 10 besar di sekolah dan yang paling berkesan adalah
ketika menyabet juara 3 mata pelajaran fisika se-Kota Binjai. Masih banyak lagi
prestasi yang kudapat namun dua hal tersebut yang sangat berkesan bagiku. Tapi
apa hubungannya dengan Ibu ?
Aku akan menjawabnya dengan cerita nyata dari perjalanan
hidupku. Pada suatu hari, aku mengikuti upacara bendera. Saat itu, kepala
sekolahku menyampaikan pidato dan aku mengingatnya bahwa pemimpin itu tidak
akan pernah terlahir dari rahim seorang wanita begitu saja melainkan terbentuk
dari sebuah proses yang panjang. Awalnya aku tak peduli apa yang diucapkannya, namun
dengan berjalannya waktu seraya mengikuti berbagai pelatihan dan seminar dari
sekolah dan lembaga pemerintahan di Kota Binjai aku mulai sadar bahwa kepemimpinan
itu benar-benar tidak bisa diwariskan. Kepemimpinan itu timbul dengan sebuah
proses panjang. Pantas saja ibuku selalu berusaha memasukkan aku ke sekolah
yang hebat agar aku juga bisa ikut menjadi orang hebat kelak.
Kita flashback ceritanya. Di masa pendidikan
sekolah, aku sangat berharap masuk di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1 Binjai setelah
lulus SD Negeri 1 No. 020267 Binjai. Maklum saja, kedua sekolah tersebut
terkenal bagus di Kota Binjai. Namun, ketika aku merasa ujian sekolah itu bisa
“dibeli” dan aku tidak lulus di sekolah tersebut, aku menemukan sebuah fakta yang
menghibur hatiku bahwa sekolah unggul tak selamanya bisa menciptakan anak-anak
yang unggul. Aku sadar bahwa sekolah unggul hanyalah sebuah lembaga yang
menampung banyak anak-anak unggul. Tanpa mereka, lembaga pendidikan itu sama
saja seperti lembaga pendidikan yang lain. Satu hal lagi yang aku temukan bahwa
anak-anak yang unggul tidak tercipta dari sebuah sekolah yang unggul melainkan
di sebuah tempat yang seribu kali lebih baik dari sekolah unggul dan banyak
pemimpin yang telah mengubah dunia terlahir disana dan aku menyebutnya rumah
dengan guru terbaiknya adalah ibuku.
Mengapa
rumah dan ibu ? Karena rumah menjadi sekolah pertama bagi anak. Selama ini aku
merasa bahwa ibuku adalah guru terbaik yang mengajarkanku betapa indahnya kasih
sayang dan beliaulah yang mendirikan sekolah pertama bagiku dan kedua saudara
kandungku. Aku bangga dengan ibuku karena tidak dapat kubayangkan bila saja
semasa kecil aku dititipkan pada pembantu atau tempat penitipan anak. Bukan hal
yang aneh di Kotaku jika anak dititipkan ke perawat atau pembantu karena alasan
kerja atau hanya ingin melepaskan keletihan. Memang banyak pembantu yang baik
tetapi menurutku masih banyak pula pembantu di Indonesia yang memiliki
pendidikan rendah. Bila saja dalam sehari 10 jam dan dilakukan selama 5 hari
saja dalam seminggu aku bersama pembantu, maka aku tidak tau bagaimana contoh
kehidupan yang patut aku teladani. Mungkin sebuah pepatah akan menguatkan
argumenku, yaitu anak yang dilahirkan selalu dalam keadaan suci dan orangtua lah
yang menjadikan anak mereka kufur ataupun durhaka. Ini berarti bahwa peran
orang tua terutama ibu bagiku sebagai orang terdekat disepanjang hari di rumah
adalah sosok pendidik yang sangat penting. Di rumahku yang sederhana pula aku
diajarkan bagaimana cara hidup jujur dan sederhana. Ya, sebuah rumah yang
mengajarkanku rasa percaya diri yang kuat serta cinta terhadap ilmu
pengetahuan. Sejak usiaku empat tahun saja, ibuku selalu menceritakan kisah
perjuangan nabi dan rasul sebelum aku tidur. Beliau menceritakan kisah
kepemimpinan yang hebat dari sang nabi dan rasul yang mampu menuntun para
pengikutnya kepada kebenaran. Beliau juga mengajarkan pentingnya memelihara kejujuran
dan kepedulian terhadap sesama. Beliau menguatkanku ketika aku takut
ditinggalkan sendiri di TK hingga akhirnya dapat bergaul dengan baik dengan
teman-teman kecilku. Dan kekuatan itulah yang kurasa memberi efek bagi rentetan
prestasi yang kuraih dan keberanianku untuk bernyanyi pertama kali di acara
ulang tahun teman kecilku yang bernama Aria Mardiani Syahfitri. Aku tidak merisaukan
kegagalanku masuk di sekolah negeri yang unggul di mata masyarakat karena di
sana tidak menjanjikan pendidikan karakter, akhlak, dan moral. Aku merasa bahwa
ibu dan rumahku sudah cukup untuk mengajariku bagaimana menjalani kehidupan dan
aku yakin akan menjadi pemimpin masa depan karena telah dididik oleh guru
terbaik dan di sekolah terbaik pula.
#LombaBlogNUB
0 komentar:
Posting Komentar