Jannatul Fadhilah, nama yang sangat
indah. Tidak kalah indah dengan sikap dan tutur katanya. Biasa disapa dengan
sebutan Jannah. Dia adalah wanita yang cerdas, lucu, cantik dan agak sedikit
pendiam. Yang paling penting bukan hanya cantik fisiknya, namun hatinya juga
begitu. Selain pendiam ternyata gadis ini juga menyimpan perasaan yang susah
untuk ditebak semua orang. (warbiasa kan? J)
Dengan
hijabnya yang menjuntai sampai dada, Jannah berjalan memasuki ruang kelas. Jam
pertama hari ini adalah pelajaran Matematika, pelajaran yang ia fovoritekan.
Ya, Jannah adalah gadis yang senang sekali berkutat dengan rumus-rumus
matematika. Tak hanya itu, ia juga senang bergelut di bidang menulis. Menurutnya,
matematika adalah hidupnya dan menulis adalah jiwanya. Dengan kesukaannya itu,
tak heran kalau ia pernah menjuarai test smart I dan II se-kotanya, juara I
lomba lingkungan hidup serta pernah menjadi finalis menulis karya tulis ilmiah
nasional mengenai TNGL. Ia juga selalu juara kelas. Tidak hanya itu, bermacam
penghargaan dan lomba piala sudah banyak terpajang indah di ruang tamu
rumahnya. Jannah cerdas kan?
“Assalamu’alaikum.
Bu Tina belum masuk kan? Aku hampir aja telat, gerbangnya bentar lagi ditutup.”
“Wa’alaikumsalam.
Belum Jan. Cie, kemarin ada cerita apa? Kok aku kelewatan berita ya?” Namanya
Putri, biasa dipanggil uput atau ukhti Putri, teman karib Jannah.
“Emang
cerita apaan Uput?” Seketika muka Jannah berubah jadi heran.
“Yaelah
Jan, gak usah tercengang gitu sih. Itu loh, kemarin kata Ayu, saat break
istirahat sebelum les kimia, tetiba kak Fabian ngajak kamu sholat ya? Dan siapa
yang ngimamin? Diakah?” Tanya Uput penasaran.
“Kak Fabian, ah kamu jangan gosip deh Uput.
Cerita sebenarnya tu gini, kemarin aku duduk di luar kelas sembari nunggu adzan
berkumandang. Nah saat kebetulan lewat kak Fabian, lalu dia ngeliat aku sendirian, makanya dia ngajak aku untuk sholat.” Jannah berusaha
menjelaskan ke Uput
Pembicaraan
mereke seketika terputus. Baru saja Uput mau melanjutkan pembicaraan, saat itu
pula Bu Tina masuk ke kelas dan memulai pelajaran.
“Jannah, dapat salam tu dari kak Fabian. Tadi
aku dipanggil, dia bilang kamu gak respon smsnya kenapa?” Tanya Uput kepo
“Jannah, aku heran deh samamu. Kamu mau laki-laki
yang seperti apa sih? Apalagi yang kurang dari kakak itu? Dia baik, ngajinya
bagus, agamanya bagus, dan pintar pula.”
“Uput
sayang, bukan masalah seperti apa laki-laki yang aku mau, tapi bagaimana cara
mereka mendapatkan aku. Lagi pula aku di sini ingin belajar, bukan cari pacar.
Ya, saat itu Uput semakin heran dibuatnya.
“Baiklah,
nanti aku sampaikan salam dan maaf darimu.”
Layaknya
mawar yang sedang mekar-mekarnya, warnanya yang indah, dan durinya yang tajam,
disukai banyak orang yang melihatnya namun enggan menyentuh karena takut
tertusuk durinya. Dirinya sangat terjaga dan selalu menjaga pandangan.
Pagi
itu semburat senja begitu elok. Enggan beranjak dari singgasananya. Sang surya
cantik menerangi kota itu dengan memancarkan cahayanya di langit yang cerah. Sama
cerahnya seperti muka Jannah pada pagi hari ini. Ia begitu bersemangat
menjalankan aktivitas hari ini.
“Masya
Allah, cerah amat tu muka.” Kata uput ngeledek Jannah.
“Apaan
si Uput. Iya dong cerah, lah hari ini ka nada mata pelajaran yang ku suka,
Bahasa Indonesia.” Kata Jannah dengan bersemangat.
“Jan,
aku mau bilanglah sama Jannah tapi janji ya gak boleh marah.” Kata Uput
mengulurkan tangannya.
“Iya,
aku janji.” Kata Jannah.
“Gini,
buku bahasa inggris yang dipinjam dari perpus, hilang entah ke mana lah Jan.
Aku udah coba cari seantero rumahku, namun tak kunjung nemu tu buku.” Kata Uput
dengan muka sedih.
“Ya
Allah, jadi gimana ni Uput? Mana bentar lagi naik-naik kelas dan buku itu kan
harus kita pulangkan ke perpus.” Mood Jannah sontak berubah kala mendengarkan
perkataan dari Uput.
“Yaudah
gini, entar sepulang sekolah kita coba cari ke pasar buku loak ya.” Kata Uput.
“Oh,
iya. Ide bagus tu.” Sambung Jannah.
Sepulang
sekolah mereka langsung pergi ke pasar buku loak namun al hasil belum rezeki,
bukunya gak ketemu.
“Sudahlah
Jan, lusa kita ke perpustakaan ya. Kita omongin aja baik-baik sama ibu penjaga
perpus.”
“Baiklah
Uput.” Muka Jannah langsung murung
Sangkin
pusingnya memikirkan buku, Jannah sampai memposting status di facebook. Postingan
itu tentu saja membuat banyak orang mengomennya, Dan tak ketinggalan kak
Fabian, dia sampai-sampai sms Jannah saat itu juga. Walau dia tau pesan yang
sebelumnya belum ada dibalas oleh Jannah.
Tiit…tiiit…tiit…tiitt
Assalamu’alakum Jannah. Maaf kalo
sebelumnya kakak mengganggu, ada apa Jannah? Ya siapa tau kakak bisa bantu.
Jannah masih menahan
diri untuk gak balas sms darinya. Tapi di sisi lain ini sangatlah penting.
Lagian selagi gak macam-macam gak masalah. Bismillah…
Jannah
Wa’alaikumsalam, ia kak, kebetulan
buku bahasa inggris yang dipinjamkan dari perpus hilang. Udah di cari di pasar
buku loak tapi al-hasil gak ada.
Tiit…tiiit…tiit…tiitt
Cover bukunya sama persis kayak
yang Jannah upload ya? Insya Allah akan coba kakak cari nanti.
Jannah
Iya kak, gak usah repot-repot kak.
Gak apa-apa kok. Makasih sebelumnya ya kak.
Tak ada lagi balasan
dari Fabian. Saat itu Jannah mengira bahwa Fabian hanya bercanda dan ingin
mencari perhatiannya. Namun tidak sama sekali, dia memang telah membuktikan
kesungguhannya untuk membantu Jannah. Buku itu akhirnya ada dan Fabianlah yang
telah menemukannya di toko buku milik sahabatnya. Buku bahasa inggris itu masih
baru dan masih terbungkus rapi oleh plastik bening.
Tiit…tiiit…tiit…tiitt
Assalamu’alaikum Jannah,
Alhamdulillah kakak udah ketemu bukunya. Besok Insya Allah kakak antar ke rumah
ya.
Jannah langsung
tercengang dan heran membaca sms itu. Senyum pun timbul pada raut
wajahnya dengan malu-malu. Serasa ada hangat menyelusup dada dan membuat jantung berdegup lebih cepat. Otaknya
pun sekejap bertanya, “Ada apa? Sungguh, bukan apa-apa. Iya mencoba
berhusnuzon. Namun di sisi lain hatinya mulai tergoyahkan dengan kesungguhan
Fabian membantunya.
“Ya Allah, ada apa
dengan hatiku ini? Apa aku juga merasakan hal yang sama? Apa aku juga menyukai
sosok kakak kelasku itu? Haish, jangan sampai ya Allah.” Katanya dalam hati.
Hatinya mulai
tergoyahkan dengan bujuk rayu syaitan. Karena saat itu hati Jannah tak tenang,
ia memutuskan untuk curhat dengan ibunya.
“Buk, di sekolah Jannah,
ada teman Jannah yang suka sama Jannah. Kak Fabian namanya. Emang sih dia itu
orangnya masya Allah banget bu. Selain suaranya yang bagus saat jadi imam, dia
juga bela-belain cari buku bahasa inggris pengganti buku bahasa inggris punya
perpus itu buk. Jadi aku harus gimana buk?” Tanya Jannah
“Subhanallah,
anak ibu sekarang udah ada yang nyukai. Lalu Jannah suka sama dia?” Ledek ibu
pada Jannah.
“Ah,
ibu ini bisa aja. Gak ada loh bu. Ibu, serius deh.” Keliatan sekali bibirnya
manyun 5 cm, hehe.
“Kembalilah ingat niat awalmu,
kalo emang kamu sudah berhijrah, maka kamu harus komitmen dengan hijrahmu.
Sampaikan saja dengan baik-baik dan bahasa yang sopan kalo kamu gak bisa nerima
dia. Untuk saat ini mau fokus ke akademik. Toh jika suatu saat berjodoh, pasti
akan dipertemukan juga sama Allah.” Jelas Ibu ke Jannah dengan lembut.
“Iya ya buk. Oke deh,
Ibu itu emang is the best banget deh pokoknya. Makasih ya bu.”
Keesokan
harinya tepat di hari Sabtu sore, terdengar suara klakson sepeda motor di depan
rumahnya. Ketika di lihat, ya, benar, ternyata itu adalah Fabian, kakak
kelasnya. Saat itu Jannah memutuskan untuk tidak keluar dari rumah, ia menyuruh
Ibunya yang mengambil buku tersebut dari Fabian. Serta menitipkan sebuah buku
untuk diberikan ke Fabian.
“Assalamu’alaikum
bu maaf, apa benar ini rumah Jannah?” Tanyanya pada Ibuku
“Wa’alaikumsalam,
benar nak. Yuk silahkan masuk dulu.” Kata Ibu Jannah
“Gak
usah bu, gak usah repot-repot. Kebetulan saya ada urusan lagi di sekolah, jadi
saya langsung balik aja ya bu. Sampaikan saja pada Jannah, ini buku bahasa
inggris yang dia cari.
“Baiklah,
terima kasih ya nak Fabian sebelumnya. Oh, iya tadi Jannah nitip buku ini untuk
kamu.” Kata Ibu Jannah
“Oh,
iya bu, makasih juga sampaikan sama Jannah ya bu. Kalo gitu saya pamit ya Bu.
Assalamu’alaikum.” Kata Fabian
“Iya,
hati-hati ya. Wa’alaikumsalam warohmatullah.” Kata Ibu
Sebelumnya Jannah tidak membalas
pesan dari Fabian. Maka dari itu, Jannah memberikan sebuah buku yang di dalam
buku tersebut terselip surat dari Jannah. Ia juga berharap dengan adanya buku
itu, Fabian dapat mengerti dan memahami maksud dari Jannah.
“Maaf tidak menerimamu. Aku sudah berkomitmen kepada Tuhanku. Biarkan
aku hijrah, pindah dari masa gelap menuju masa yang aku injak saat ini. Aku
lebih mencintai Tuhanku. Bersabarlah bila kau memang ingin menungguku. Sembari
menungguku, masing-masing dari kita teruslah memperbaiki diri dan menengadah
pada-Nya. Persiapkan dirimu, lalu datang temui Ayahku.”
Deg, mata selalu
mengulang untaian kalimat itu, kalimat penutup dari buku “Bersemi Pada
Waktunya”. Terus diulang, entah apa yang dipikirkan. Perlahan Fabian mulai
melipat sampul belakang. Hanya membutuhkan waktu dua jam tiga puluh menit untuk
melahap habis buku itu. Membolak-balik lembaran dengan keadaan hati yang
berkecamuk. Biarkan Fabian yang menerjemahkan sendiri apa maksud dari Jannah.
Usai
membaca surat tersebut Fabian mengirim pesan ke Jannah
Tiit…tiiit…tiit…tiitt
Assalamu’alaikum
Jannah. Maaf mengganggu malammu. Baiklah kalo memang itu keputusanmu. Aku akan
berusaha tapi aku punya satu pertanyaan untukmu. Jika suatu saat aku telah
memenuhi apa yang kamu tentukan, apakah kamu bersedia menerimaku?
Deg, Jannah sontak
terdiam sejenak sembari memikirkan jawaban yang singkat namun juga padat dan
tepat untuk dikirim ke Fabian.
Jannah
Insya
Allah akan Jannah pertimbangkan kak…
Kini
tibalah saatnya kelulusan kelas. Fabian yang saat itu berada di kelas 3 SMA,
otomatis akan melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Negeri yang ia pilih.
Sementara Jannah memasuki kelas 3 SMA. Inilah akhir pertemuan mereka. Fabian
pun memutuskan untuk mengambil studi ke kota Yogyakarta. Fabian memilih
Yogyakarta karena merupakan kota pelajar dan kota buku. Dia berharap dengan
nantinya menyibukkan diri dengan akademik dan organisasinya, akan mampu melupakan
Jannah.
Fabian
memulai lembaran baru dalam hidupnya. Kini ia memantaskan dirinya untuk menjadi
pribadi yang lebih baik lagi sesuai apa yang diminta Jannah. Ia yakin dan
percaya bahwa suatu saat kelak Allah pasti akan mempertemukanya kembali dengan
Jannah.
“Jannah,
nantikanku di batas waktu.” Suara hati kecil Fabian.