Minggu, 17 Mei 2015

Dalam Diamku





Akhirnya agenda hari ini pun telah selesai. Vina bergegas keluar  gerbang kampus untuk pulang. Namun, saat menuju pintu keluar, tampak sesosok pria yang sedang menghidupkan mesin motornya.
“Bang...” Vina mencoba menegur sosok pria yang tak lain merupakan seniornya.
“Ya.” Jawab seniornya tersebut.
Belum sempat Vina melangkahkan kakinya lagi, Rafi, sebut saja begitu, yang merupakan. seniornya, menghentikan langkah Vina.
“Eh, Vina?” Rafi memanggil Vina.
“Iya bang, ada apa bang?” Tanya Vina penasaran.
“Pulang sama siapa?” Tanya Rafi pada Vina.
“Pulang sendiri bang.” Jawab Vina.
“Oh, yaudah, pulang sama abang aja.” Rafi menawarkan bantuan pada Vina.
“Eng...gak usah bang. Vina naik angkot aja di depan.” Vina menolaknya dengan lembut.
“Yakin?” Kata Rafi.
“Iya bang.” Jawab Vina meyakinkan Rafi.
“Oh, yaudah, abang duluan ya? Assalamu’alaikum.” Kata Rafi sambil melemparkan senyuman kepada Vina.
“Iya bang, wa’alaikumsalam.” Jawab Vina sambil membalas senyuman kepada Rafi.

*** 

Tanpa diduga sebelumnya, pagi itu, saat masuk mata kuliah Teknik Bangunan, Vina mendapati sosok pria itu. Ya, ternyata Rafi mengulang mata kuliah Teknik Bangunan di kelas Vina. Awalnya sempat kaget, namun lama kelamaan menjadi biasa saja.
Dua setengah jam dilalui tanpa terasa. Di penghujung pertemuan hari ini, dosen Teknik Bangunan mengumumkan kalau untuk pertemuan berikutnya, mereka akan masuk jam 07.00 pagi dan tak boleh ada satu pun yang telat. Hal ini dikatakan sang dosen karena ingin mendidik mahasiswa-mahasiswanya untuk lebih disiplin dalam waktu.
Saat itu, sontak membuat Vina, Wulan, Mirda, Sefti, Dina, Tia, Dhini, dan semuanya ketakutan dan sempat berbisik satu sama lain atas keputusan dosen mereka tersebut. Ya, itu artinya, mau gak mau mulai minggu depan mereka masuk jam 07.00 pagi.
Sama seperti hari biasanya, hari ini Vina juga pulang sore. Hal ini karena ada beberapa tugas kampus yang belum ia selesaikan. Maklum, Vina bekerja paruh waktu. Pulang kuliah, ia harus membantu dosen. Bisa dibilang seperti Asisten Dosen gitu. Usai dari ruangan dosen, ia harus pergi untuk mengajar les privat. Maka dari itu, kalau bisa dibilang “tiada hari tanpa pulang cepat”, itulah Vina.

***

Hari berlalu begitu cepatnya. Tak terasa hari esok sudah masuk saja mata kuliah Teknik Bangunan. Mau gak mau besok Vina harus bangun cepat agar gak terlambat. Dan untuk bisa bangun lebih awal, biasanya Vina harus tidur lebih awal pula.
Belum sempat ia merebahkan badannya ke tempat tidur, tiba-tiba hpnya berdering.
Titiitt...tiitiiit...

Assalamu’alaikum, Vina, besok pagi abang jemput ke rumah ya.
By : Rafi               

Senyum pun timbul pada raut wajahnya dengan malu-malu. Serasa ada hangat menyelusup dada dan  membuat jantung berdegup lebih cepat. Otaknya pun sekejap bertanya, “Ada apa? Sungguh, bukan apa-apa. Iya mencoba berhusnuzon.
Vina pun menjawab sms dari Rafi dengan tak berlebihan.

Wa’alaikumsalam
Gak usah bang, besok Vina pergi sendiri aja.
By : Vina

Setelah itu, seperti tidak ada jawaban apa-apa lagi dari Rafi. Namun, sepertinya Vina tak bisa tidur cepat malam ini. 15 menit kemudian, baru mulai memejamkan matanya, lagi-lagi ada pesan masuk.

Titiitt...tiitiiit...

Oh, yaudah.
By : Rafi

Saat itu, barulah Vina dapat tertidur pulas, merebahkan badannya ke kasur empuk. Mencoba memulihkan badannya yang seharian dipakai untuk berpikir dan bekerja.

***

 Sinar mentari masuk disela jendela kamar Vina, membangunkan Vina untuk segera bergegas mandi, sholat dan bersiap-siap memulai aktivitas seperti biasanya. Entah apa yang salah, tiba-tiba saja usai menyiapkan segala sesuatunya, Vina mengambil handphone dan mengirim pesan pada Rafi.(Oh, my God. What’s wrong, Vin?)

Assalamu’alaikum
Maaf pagi-pagi udah sms, bang
Bang Rafi, Vina hari ni boleh nebeng?
By : Vina

Dua menit kemudian, hp Vina pun berdering...

Titiit...tiitiit...

Wa’alaikumsalam
Iya, boleh. Nanti abang tunggu di depan simpang rumah Vina
By : Rafi

Wah, tampaknya pagi ini tak hanya mentari yang mengilaukan rerumputan. Namun, Vina juga mengilaukan seantero rumah dengan wajahnya yang berseri-seri.
Usai bersiap-siap, ia pun berjalan menuju simpang rumahnya. Masih sampai di depan pintu, suatu hal mengagetkan Vina. Ternyata Rafi sudah menunggunya. Seperti berubah derastis wajah dan hatinya. Mencoba menenangkan hatinya yang agak cenat-cenut melihat sosok pria yang ada di depannya.
“Tenang, ini bukan apa-apa, Vina. Ya, positive thinking aja.” Kata Vina dalam hati mencoba menenangkan hati.
Tanpa sepatah kata, Vina langsung naik dan mereka pun pergi menuju kampus dengan motor antik milik Rafi.
Dipertengahan jalan, tampak Rafi yang mencoba mencairkan suasana. Tak mungkin jika dalam waktu hampir 30 menit, mereka hanya diam saja. Itu sama saja dong seperti abang ojek dengan tumpangannya. (Emangnya Rafi tukang ojek Vina? Kan enggak. Haha, cerocos si penulis.)
“Vin, kayaknya abang liat setiap hari banyak kali yang Vina kerjakan.” Tanya Rafi.
“Hehe, ya gitulah bang. Demi mendapatkan sesuap nasi.” Kata Vina.
“Sesuap nasi dan sebongkah berlian?” Lanjut Rafi.
“Haha, kayak lagu wali aja bang.” Kata Vina.
“Ternyata bisa juga abang ini ngelawak ya?” Kata Vina dalam hati.
“Oh, iya, tamat dari sini mau lanjut ke mana Vin? Apa mau lanjut S2 di bidang ini juga?” Tanya Rafi.
“Hmm, kalau dapat beasiswa, rencananya mau lanjut S2 bang. Tapi kalau gak dapat, ya ngumpulin duit dulu.” Kata Vina.
“Oh, insyaAllah adanya tu, beasiswa. Kan sekarang udah banyak Universitas yang ada di luar nawarin beasiswa.” Kata Rafi.
“Iya bang, semoga aja.” Kata Vina.
“Kalau abang, habis tamat dari sini mau ke mana?” Tanya Vina.
“Abang ngikutin arus aja Vin.” Kata Rafi.
“Haa..., maksudnya bang?” Vina mendadak penasaran dan kepo.
“Iya, ngikutin arus yang udah ditakdirkan sama Allah ke abang.” Kata Rafi.
“Tapi kan walaupun Allah udah memberikan takdir sama setiap umatnya, toh umatnya kan juga harus berusaha untuk mencapai apa yang dia inginkan.” Kata Vina pada Rafi.
(“haha, si Vina lama-lama udah kayak ustadzah aja ya? Makin cocok aja tu sama si tetangga.” Cerocos si Penulis)
“Iya, abang ngerti maksud Vina. Abang juga punya target tapi, kan gak mesti abang kasi tau ke orang-orang kan target abang. Jadi, abang bilang aja gitu.” Kata Rafi.
“Oh.” Kata Vina sambil bengong.
“Apa sih maksud semua ini? Gak ngerti adek, bang.” Suara hati kecil Vina.
Tak terasa, waktu berdetak sangat cepat. Sampailah mereka di kampus tercinta.
“Makasih ya bang, nanti pulangnya nebeng lagi ya?” Kata Vina sambil meletakkan helm di atas motor Rafi.
“Iya.” Jawab Rafi.

***

Seperti biasanya, ketika Vina sudah ngumpul dengan sahabat-sahabatnya, yaitu Wulan, Mirda, Dina, Tia, Sefti, dan Dhini, pasti ada aja yang diceritain. Mulai cerita tentang organisasi sampai ujung-ujungnya ke kisah percintaan yang islami, katanya. :)
“Eh, kok keliatan ceria kali muka si Vina? Ada apa gerangan?” Tanya Wulan kepada sahabat-sahabatnya.
“Ya, apalagi sebabnya, Lan, kalau bukan karna someone. We know lah...” Cerocos Tia.
“Haha, susah ya yang punya fitrah.” Sambung Dina.
“Apasih kalian ini, aku baru datang loh, udah di komen.” Sambung Vina sambil tersipu malu.
“Eh, tau gak?” Tanya Vina kepada sahabatnya.
“Enggak...” Kata Wulan, Dina, Sefti, Mirda, Tia, dan Dhini dengan serentak.
“Hahaha..” Mereka berbarengan nertawain Vina.
“Iih, aku belom ngomong loh.” Kata Vina dengan muka merengut.
“Ada yang gondok.” Kata Tia.
“Apa Vin, aku kepo ni.” Sambung Mirda.
“Masa tadi abang itu nanyakin aku nanti habis tamat dari sini mau kemana.” Kata Vina.
“Terus, apa Vina bilang?” Tanya Sefti.
“Ya aku bilanglah, kalau ada dapat beasiswa, mau lanjut S2 tapi kalau enggak mau ngumpulin duit dulu, gitu ku bilang.” Kata Vina.
“Kalau abang itu gimana Vin?” Tanya Dhini sama Vina.
“Iya, habis itu kan ku tanya abang itu mau ngelanjut ke mana setelah tamat dari sini. Terus abang itu cuma bilang abang ngikutin arus yang udah ditakdirkan Allah aja untuk abang.” Kata Vina.
“Maksudnya?” Tanya Wulan.
Baru saja Vina ingin menjawab pertanyaan dari Wulan, tetiba dosen mata kuliah Teknik Bangunan pun telah masuk ke ruangan. Saat itu terpaksalah percakapan mereka terhenti sejenak.
“Nanti kita lanjutin lagi ceritanya ya.” Kata Vina pada Wulan yang saat itu duduk di samping Vina.
“Oke, kalau udah ngomogin itu aja, semangat kali.” Cerocos Wulan membisikkan ke telinga Vina.
“Hahaha...” Vina tertawa pelan sambil menyubit tangan Wulan.
“Ih, apasih, sakit tau.” Kata Wulan.
Ya, itulah mereka, di saat dosen udah masuk dalam ruangan pun sempat-sempatnya bercanda dan ngobrol kecil.

***

Usai kuliah, seperti hari-hari biasanya, mereka selalu berkumpul di bestcamp mereka, yaitu di ruangan diskusi. Namanya aja ruangan diskusi, namun nyatanya malah ngegosip. Ups, tapi ada benarnya juga sih, itu kan termasuk dari diskusi. Diskusi masalah yang non akademis.(Ngeles aja -_-)
Di situ, mereka ngelanjutin percakapan yang tadi sempat tertunda karena dosen.
“Eh, apa kelanjutan yang tadi Vin?” Tanya Wulan penasaran.
“Oh, iya, aku bilang gini, kita kan gak mungkin hanya mengikuti arus takdir aja bang. Kita kan juga harus berusaha mencapainya.” Kata Vina.
“Lalu...?” Sambung Sefti.
“Abang itu bilang, iya abang tau maksudnya. Cuma kan gak mesti abang kasi tau ke orang-orang kalau tentang target abang? Makanya abang itu hanya bilang gitu.” Kata Vina.
“Apasih? Gak ngertilah. Bingung aku Vin.” Kata Dina dengan muka bingung.
“Iya Vin.” Sambung Wulan, Mirda, Sefti, Tia, Dhini, dan Dina.
“Nah, itu dia kalian aja bingung, apalagi adek bang.” Kata Vina sambil tertawa.
“Ooo, dasar sok cantik.” Sorak keenam sahabatnya.
“Hahaha...” Vina tertawa terbahak-bahak.
“Eh, udah jam berapa ni? Aku pulang ya? Mau nyuci pakaian.” Kata Dhini.
“Iya, ni. Aku juga mau pulang cepat hari ni soalnya mau ke Supermarket dulu, mau beli hadiah untuk adikku.” Kata Wulan.
“Iya, aku juga mau ke sekolah, jemput adik.” Sambung Dina.
“Yaudah, perbincangan kita hari ini sampai di sini dulu ya pemirsa.” Cerocos Vina.
“Entah apa-apa yang dibilang si Vina lah.” Kata Tia dengan mukanya yang sinis.

***

 Malam ini Vina berniat untuk membuka akun jejaring sosialnya. Kebetulan ia juga lagi free dari tugas-tugas kampus. Kalau bisa dibilang refreshing sejenak dari tugas-tugas kampusnya.
Ketika membuka jejaring sosialnya, kebetulan Rafi juga lagi online, dan Vina juga ada perlu dengan Rafi. Vina pun menyapa duluan Rafi.
“Assalamu’alaikum, bang ada buku Caracter Building?” tanya Vina dalam sebuah obrolan di jejaring sosial.
“Wa’alaikumsalam, ada Vin. Kenapa?” Jawab Rafi.
“Boleh minjam bang?” Kata Vina.
“Iya, boleh. Kapan perlunya?” Tanya Rafi.
“Besok bang.” Jawab Vina.
“Oh, yaudah, besok abang bawa ya.” Kata Rafi.
“Oke bang, makasih sebelumnya bang.” Kata Vina.
“Iya, sama-sama. Oia, besok mau bareng gak?” Tanya Rafi.
“Boleh bang, kebetulan motor Vina juga lagi rusak, gakpapa kan bang?” Tanya Vina.
“Iya, gakpapa. Besok seperti biasa ya, abang jemput di simpang.” Kata Rafi.
“Oke bang.” Jawab Vina.
Sampai sini, obrolan mereka terhenti. Wah, serasa sesak di dada saat Rafi menanyakan hal itu lagi. Vina masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa arti dari semua ini?
“Dia, sering kali menawarkan tumpangan samaku. Dia juga sering sms diriku. Dan dia juga sampai ingin datang ke rumahku dengan alasan hanya sekedar silaturahmi. Lantas, apakah aku salah menafsirkan semua ini?” Tanya Vina pada dirinya sendiri.

“Memang iya sih, aku juga yang salah. Kenapa aku harus mau? Kenapa tak bisa aku menolak permintaan itu, Vina?” Tanya Vina lagi pada dirinya.
Sangkin pusingnya ia memikirkan hal itu, ia sampai tertidur dengan meninggalkan laptopnya yang masih menyala. 

***

Keruyukan ayam pagi ini telah membangunkan Vina dari tidur panjangnya yang kurang begitu nyenyak. Sama seperti hari-hari biasanya, pagi ini Vina kembali berangkat kampus dengan Rafi. Tak ada yang berubah dari mereka. Setiap kali barengan, layaknya dua buah patung yang saling diam dan membisu. Hingga keheningan itu menyadarkan bahwa mereka telah sampai di suatu tempat yaitu “kampus”.
Sesampainya di dalam ruangan, Vina selalu menceritakan kejadian yang dia alami pada keenam temannya.
“Bareng lagi hari ini? Wah, sekarang udah kayak minum obat ya Vin. Tapi ini bedanya 3 kali seminggu.” Kata Sefti sambil tertawa.
“Haha, jangan gitu lah. Iya-ya, aku juga gak ngerti dengan hatiku saat ini. Semua bercampur jadi satu seperti gado-gado.” Jawab Vina.
“Udah stadium berapa Vin?” Ledek Wulan.
“Masih stadium 1.5 kok.” Kata Vina.
“Haha...” Terdengar suara mereka seantero ruangan.
“Gawat ni anak, rasa kagumnya udah parah kali sama bang Ra...” Cerocosan Tia terhenti kala Rafi tiba-tiba saja lewat dari ruangan mereka.
“Ssstt..., diam, ada abang itu.” Kata Sefti.
Mereka terdiam sejenak lalu kembali berbincang setelah Rafi lewat.
“Vin, ingat, jangan terlalu berlebihan, entar yang ada jadi zina.” Kata Dina sambil melihat ponsel barunya itu.
“Iya Vin, kami semua hanya mengingatkan karna kami tu peduli sama Vina, sang berbi eksotis.” Kata Dini.
“Iya, makasih ya semuanya karna udah mengingatkanku akan hal itu.” Kata Vina dengan muka yang sontak berubah dari tadinya riang, jadi lesu.
Apa yang teman-teman Vina bilang ke dirinya memang sangatlah benar adanya. Pasalnya ia saat ini begitu mengagumi Rafi, seniornya itu. Terlebih lagi Rafi merupakan sosok pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Begitu pula halnya dengan Rafi, diam-diam Rafi juga mengagumi juniornya itu. Namun rasa kagum Rafi tidak melebihi rasa kagum Vina terhadap Rafi.
Awal mula Rafi tertarik pada Vina karna ia adalah sosok wanita yang pekerja keras dan pintar. Tau sendirikan, Rafi paling suka melihat seorang wanita yang pintar.

***

Menyudut, menyendiri, dan melamun, itulah hal yang Vina lakukan saat berada di kamarnya. Hatinya tak tenang, ia terus saja memikirkan apa yang telah temannya katakan. Ia kembali bermuhasabah dirinya dan mengadu pada Zat yang menciptakan rasa cinta. Dia lah sang Maha membolak-balikkan hati.
“Ya Robb, mungkin aku telah salah langkah selama ini. Walau ku tau itu bukan yang Kau inginkan, namun aku terus saja melakukannya. Maafkan diriku ini yang telah salah menafsirkan fitrah dari Mu. Karna sesuatu yang salah, aku bahkan tak memperdulikan-Mu lagi. Bahkan hanya sekedar menyapa-Mu lewat dzikir dan sholat malamku pun sudah tak lagi ku lakukan.” Kata Vina sembari mengadu dan mohon ampun pada sang Pencipta.
“Ya, aku harus memperbaharui niatku. Bukan untuk seorang pria, tapi untuk kedua orang tua dan Robbku. Aku hanya mampu berhusnuzon pada-Mu, jika memang suatu saat kelak aku dan dirinya memanglah berjodoh, maka pertemukanlah kami. Tapi jika tidak, maka jauhkanlah kami, dan berikanlah aku seorang pria nantinya yang mampu menjadi imam yang baik buatku, Robb.” Kata Vina kembali mengadu
Mulai saat itu, ia merestart niatnya. Vina kembali memfokuskan dirinya pada cita-citanya. Untuk dapat mengaplikasikan niat barunya, ia sengaja menyibukkan dirinya dengan bekerja.
Begitu juga dengan Rafi, setiap kali hatinya sedang gundah gulana, ia selalu mengadukannya pada Sang Pencipta. Kebetulan Rafi juga mempunyai seorang paman yang memiliki pondokan. Jadi, untuk dapat merubah segalanya dan menjernihkan kembali pikirannya, Rafi pun memutuskan untuk mondok dan lebih memahami ilmu islam lebih dalam.
Usai mengadu, Rafi dan Vina pun memutuskan untuk tidak saling chattingan, smsan, maupun pergi sama. 

***

Hujan mengguyur kota karesidenan pagi ini. Langit sangat gelap. Bahkan alam pun tau bahwa pagi ini sangatlah mendung. Sama seperti hati-hati dua insan yang terjangkit virus merah jambu.
Vina berjalan dari parkiran menuju ruangan. Sempat jumpa dengan Rafi kala itu. Namun hanya menyapa satu sama lain, gak lebih. Seperti kembali ke masa awal saat pertama kali masuk kuliah. Mengenal tapi tak akrab.
“Ada apa Vin? Mendung kali kayaknya ya, sama kayak langit mendungnya.” Tanya Dina kepo.
“Gak apa, oh, iya, mulai saat ini aku tak lagi ngechat, sms, atau apalah itu ke bang Rafi.” Kata Vina
“Loh, kenapa Vin?” Tanya Sefti polos.
“Loh, bukannya kalian sendiri yang nasihatin aku kemarin? Kok balik nanyak?” Tanya Vina.
“Hehe, kami pura-pura gak tau aja.” Cerocos Dhini.
“Udahlah Vin. Jodoh pasti bertamu kok, tenang aja.” Kata Wulan.
“betol itu Vin, mulai sekarang jangan galau-galau lagi ya.” Kata Mirda.
“Iya, makasih sahabatku yang ku cinta karna Allah, uhibbukifilllah.” Kata Vina sambil memeluk keenam sahabatnya tersebut.
“Uhibbukillah too.” Jawab Sefti, Mirda, Wulan, Dhini, Tia, dan Dina dengan serentak sambil memeluk Vina.
Linangan air mata penuh cinta dan kebahagiaan pun jatuh dari wajah Vina. Ia merasa beruntung mempunyai keenam sahabat yang selalu ada di saat dia senang maupun susah dan juga selalu memberikan nasihat ketika memang Vina melangkah ke tujuan yang salah.
Vina yakin dan percaya dengan apa yang sahabatnya katakan bahwa “jodoh itu pasti bertamu”.