Kamis, 05 Maret 2015

Cinta Monyet


24 Juli 2014 tepatnya di salah satu restoran ternama yang ada di Dumai, Dinda bersama dengan teman-teman SD-nya mengadakan bubar alias buka bareng plus reunian. Ternyata banyak yang berubah dari teman-teman SD-nya itu. Yang dulunya dia tu bisa di bilang culun bingits, sekarang malahan kebalikannya, gaul bingits dan juga banyak mantannya :D. Yang tadinya kreak, malah sekarang makin tambah kreak. Ada juga yang dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah.

Banyak kenangan yang takkan pernah Dinda lupakan sewaktu ia masih duduk di Sekolah Dasar. Rasanya jika diceritakan atau di tayangkan, mungkin udah pake season-season gitu kayak sinetron di sctv. Hhehe...

Dinda merasa senang banget bisa berkumpul lagi bareng teman-teman SD-nya dan menceritakan kenakalan-kenakalan serta kejahilan sewaktu SD. Namun, di balik itu semua, rasa-rasanya ada yang kurang menurut Dinda. Siapa dia? Dia adalah teman SD Dinda sewaktu Dinda  masih duduk di kelas III SD. Dia adalah murid pindahan dari Bandung. Dia pindah karena ikut orang tuanya pindah kerja di kota tempat Dinda tinggal. Ya, kebetulan papanya itu adalah seorang Polisi. Dia bernama Fabian.

Dinda tau, sangat singkat rasanya Fabian berada di SD-nya itu, karena naik-naikan kelas IV, dia pun pindah ke Kalimantan, biasalah, ikut  orang tuanya. Tapi entah mengapa, waktu yang singkat itu, malahan membuat kenangan tersebut takkan pernah bisa Dinda lupakan. Mungkin kita bisa flashback dulu ke masa-masa indah itu.

Dulu, sewaktu pulang sekolah, saat Dinda sedang menunggu jemputan ayahnya, abangnya Fabian, sebut saja itu bang Gilang, selalu bilang “ciiee, Bian, tu si Dinda.”

Bukan hanya hari itu saja, hari-hari yang lain juga seperti itu, bang Gilang bersama dengan temannya yaitu bang Feri, selalu mengolok-oloki Dinda saat ia sedang menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Ya, memang pada saat itu, Fabian, Gilang dan Feri juga sedang menunggu jemputan.

“Dinda, si Fabian suka sama Dinda.” Sahut bang Gilang

“Apanya kau, lang. Ssstt, diaamm.” Fabian menutup mulut abangnya

“Dasar, si gembrot.” Kata Fabian.

Teman-teman Dinda juga sering mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan bang Gilang, namun kala itu, Dinda masih polos dan gak tau apa-apa soal begituan. Baginya saat itu yang terpenting adalah belajar dan bisa menjadi juara kelas.

Sampai pada akhirnya, naik-naikan kelas, sewaktu pembagian raport, Dinda dan Fabian ternyata masuk ranking 3 besar. saat itu, Dinda mendapatkan ranking 1 dan Fabian ranking 2. Sempat terbesik kala itu dalam benak Dinda kalo ternyata si Fabian itu pintar J.

Ya, mungkin saat itulah pertemuan terakhir antara Dinda dan Fabian. Karena setelah itu Fabian akan pindah sekolah ke Kalimantan, seperti biasa, ikut kedua orang tuanya. (Yang sabar ya Dinda, tetap semangat !! :D).

           Terlalu singkat sih bagi Dinda, namun Dinda juga tak mampu berbuat banyak. Dinda juga saat itu gak tau apa-apa karena Dinda dulunya kan masih polos, belum tau yang namanya Dinda-Dindaan gitu. Hhehe...

Sampai pada saat Dinda telah duduk di kelas V SD, Fabian kembali lagi ke sekolah Dinda. Sebentar sih, mungkin hanya untuk melihat-lihat SD lamanya.

Dinda merasa sangat sedih karena pada saat Fabian datang ke sekolahnya, Dinda malahan udah pulang duluan. Itu pun Dinda tau informasinya dari teman sekelas Dinda. L

Eitsss, sepertinya cukup sampai di sini flashbacknya. Itulah mungkin sepenggal kenangan Dinda sewaktu di SD bersama Fabian. Kini, Dinda sama sekali tidak mengetahui informasi apa-apa tentang teman SD-nya itu.

“Aku gak tau di mana dia sekarang, apa dia masih berada di Kalimantan? Ataukah dia udah gak di situ lagi? Gimana sifatnya sekarang? Apa dia masih sering ke mana- mana bawa sapu tangan untuk mengelapkan keringatnya? Apa dia masih seperti yang dulu? Pendiam, pintar, putih, dan tampan? Apa matanya masih cipit seperti orang cina? Apa dia masih ingat sama diriku ini? Ataukah dia malah udah lupa?”(Tanya Dinda dalam hati)

Wah, banyak banget rasanya pertanyaan-pertanyaan seputar Fabian yang ada di benak Dinda. Yang  jelas, tak satu pun pertanyaan-pertanyaan itu dapat Dinda jawab. Dia gak tau sama sekali tentang Fabian. Dia juga sudah berkali-kali mencari namanya di sosmed, namun tak kunjung dapat Dinda temukan. Dia sadar, sebenarnya hal seperti ini gak boleh dipikirkan berlarut-larut, karena Dinda tau nantinya menjadi zina pikiran. Namun, tak bisa ia pungkiri, terkadang datang begitu saja. Maklum sih, Dinda kan wanita normal  dan juga sudah fitrahnya manusia, mampu merasakan rasa Dinda. Tapi sekarang rasa cinta yang bagaimana yang kita rasakan? Jangan sampai kita salah mengartikannya.

“Aku salah sih, udah memikirkan hal ini. Yasudahlah, toh hal itu sudah berlalu. Serahkan saja semuanya pada Zat yang menciptakan rasa “Cinta”, yaitu Allah Azza wa Jalla. Jika suatu saat nanti kami ditakdirkan untuk bertemu, maka itulah yang namanya jodoh tapi jika tidak, mungkin kita belum berjodoh.” Kata Dinda dalam hati

Mulai saat itu, Dinda pun berusaha memperbaharui niatnya setiap saat menjadi wanita yang lebih baik lagi. Baik itu dari perilaku, penampilan, maupun hatinya. Ia yakin dan percaya, bahwa Allah akan memberikan seseorang yang terbaik untuknya. Karna yakinlah, “wanita yang baik, hanya untuk laki-laki yang baik pula”. Dan ada satu kalimat lagi yang mampu menguatkan hati Dinda untuk tetap istiqomah di jalan Allah, yaitu “jodoh kita kelak adalah cerminan dari diri kita”.

Selesai