24 Juli 2014 tepatnya di salah satu restoran
ternama yang ada di Dumai, Dinda bersama dengan teman-teman SD-nya mengadakan
bubar alias buka bareng plus reunian. Ternyata banyak yang berubah dari
teman-teman SD-nya itu. Yang dulunya dia tu bisa di bilang culun bingits,
sekarang malahan kebalikannya, gaul bingits dan juga banyak mantannya :D. Yang
tadinya kreak, malah sekarang makin tambah kreak. Ada juga yang dari dulu
sampai sekarang gak pernah berubah.
Banyak kenangan yang takkan pernah Dinda
lupakan sewaktu ia masih duduk di Sekolah Dasar. Rasanya jika diceritakan atau
di tayangkan, mungkin udah pake season-season gitu kayak sinetron di sctv.
Hhehe...
Dinda merasa senang banget bisa berkumpul lagi
bareng teman-teman SD-nya dan menceritakan kenakalan-kenakalan serta kejahilan
sewaktu SD. Namun, di balik itu semua, rasa-rasanya ada yang kurang menurut
Dinda. Siapa dia? Dia adalah teman SD Dinda sewaktu Dinda masih duduk di kelas III SD. Dia adalah murid
pindahan dari Bandung. Dia pindah karena ikut orang tuanya pindah kerja di kota
tempat Dinda tinggal. Ya, kebetulan papanya itu adalah seorang Polisi. Dia
bernama Fabian.
Dinda tau, sangat singkat rasanya Fabian
berada di SD-nya itu, karena naik-naikan kelas IV, dia pun pindah ke
Kalimantan, biasalah, ikut orang tuanya.
Tapi entah mengapa, waktu yang singkat itu, malahan membuat kenangan tersebut
takkan pernah bisa Dinda lupakan. Mungkin kita bisa flashback dulu ke masa-masa
indah itu.
Dulu, sewaktu pulang sekolah, saat Dinda
sedang menunggu jemputan ayahnya, abangnya Fabian, sebut saja itu bang Gilang,
selalu bilang “ciiee, Bian, tu si Dinda.”
Bukan hanya hari itu saja, hari-hari yang
lain juga seperti itu, bang Gilang bersama dengan temannya yaitu bang Feri,
selalu mengolok-oloki Dinda saat ia sedang menunggu jemputan di depan gerbang
sekolah. Ya, memang pada saat itu, Fabian, Gilang dan Feri juga sedang menunggu
jemputan.
“Dinda, si Fabian suka sama Dinda.” Sahut
bang Gilang
“Apanya kau, lang. Ssstt, diaamm.” Fabian
menutup mulut abangnya
“Dasar, si gembrot.” Kata Fabian.
Teman-teman Dinda juga sering mengatakan hal
yang sama seperti yang dikatakan bang Gilang, namun kala itu, Dinda masih polos
dan gak tau apa-apa soal begituan. Baginya saat itu yang terpenting adalah
belajar dan bisa menjadi juara kelas.
Sampai pada akhirnya, naik-naikan kelas, sewaktu
pembagian raport, Dinda dan Fabian ternyata masuk ranking 3 besar. saat itu, Dinda
mendapatkan ranking 1 dan Fabian ranking 2. Sempat terbesik kala itu dalam
benak Dinda kalo ternyata si Fabian itu pintar J.
Ya, mungkin saat itulah pertemuan terakhir
antara Dinda dan Fabian. Karena setelah itu Fabian akan pindah sekolah ke
Kalimantan, seperti biasa, ikut kedua orang tuanya. (Yang sabar ya Dinda, tetap
semangat !! :D).
Terlalu singkat sih bagi Dinda, namun Dinda juga tak mampu
berbuat banyak. Dinda juga saat itu gak tau apa-apa karena Dinda dulunya kan
masih polos, belum tau yang namanya Dinda-Dindaan gitu. Hhehe...
Sampai pada saat Dinda telah duduk di kelas
V SD, Fabian kembali lagi ke sekolah Dinda. Sebentar sih, mungkin hanya untuk
melihat-lihat SD lamanya.
Dinda merasa sangat sedih karena pada saat Fabian
datang ke sekolahnya, Dinda malahan udah pulang duluan. Itu pun Dinda tau informasinya
dari teman sekelas Dinda. L
Eitsss, sepertinya cukup sampai di sini
flashbacknya. Itulah mungkin sepenggal kenangan Dinda sewaktu di SD bersama Fabian.
Kini, Dinda sama sekali tidak mengetahui informasi apa-apa tentang teman SD-nya
itu.
“Aku gak tau di mana dia sekarang, apa dia
masih berada di Kalimantan? Ataukah dia udah gak di situ lagi? Gimana sifatnya
sekarang? Apa dia masih sering ke mana- mana bawa sapu tangan untuk mengelapkan
keringatnya? Apa dia masih seperti yang dulu? Pendiam, pintar, putih, dan
tampan? Apa matanya masih cipit seperti orang cina? Apa dia masih ingat sama
diriku ini? Ataukah dia malah udah lupa?”(Tanya Dinda dalam hati)
Wah, banyak banget rasanya pertanyaan-pertanyaan
seputar Fabian yang ada di benak Dinda. Yang jelas, tak satu pun pertanyaan-pertanyaan itu dapat
Dinda jawab. Dia gak tau sama sekali tentang Fabian. Dia juga sudah
berkali-kali mencari namanya di sosmed, namun tak kunjung dapat Dinda temukan.
Dia sadar, sebenarnya hal seperti ini gak boleh dipikirkan berlarut-larut,
karena Dinda tau nantinya menjadi zina pikiran. Namun, tak bisa ia pungkiri,
terkadang datang begitu saja. Maklum sih, Dinda kan wanita normal dan juga sudah fitrahnya manusia, mampu
merasakan rasa Dinda. Tapi sekarang rasa cinta yang bagaimana yang kita
rasakan? Jangan sampai kita salah mengartikannya.
“Aku salah sih, udah memikirkan hal ini.
Yasudahlah, toh hal itu sudah berlalu. Serahkan saja semuanya pada Zat yang
menciptakan rasa “Cinta”, yaitu Allah Azza wa Jalla. Jika suatu saat nanti kami
ditakdirkan untuk bertemu, maka itulah yang namanya jodoh tapi jika tidak,
mungkin kita belum berjodoh.” Kata Dinda dalam hati
Mulai saat itu, Dinda pun berusaha
memperbaharui niatnya setiap saat menjadi wanita yang lebih baik lagi. Baik itu
dari perilaku, penampilan, maupun hatinya. Ia yakin dan percaya, bahwa Allah
akan memberikan seseorang yang terbaik untuknya. Karna yakinlah, “wanita yang baik, hanya untuk laki-laki
yang baik pula”. Dan ada satu kalimat lagi yang mampu menguatkan hati Dinda
untuk tetap istiqomah di jalan Allah, yaitu “jodoh kita kelak adalah cerminan dari diri kita”.
Selesai