Akhirnya
agenda hari ini pun telah selesai. Vina bergegas keluar gerbang kampus untuk pulang. Namun, saat
menuju pintu keluar, tampak sesosok pria yang sedang menghidupkan mesin
motornya.
“Bang...”
Vina mencoba menegur sosok pria yang tak lain merupakan seniornya.
“Ya.”
Jawab seniornya tersebut.
Belum
sempat Vina melangkahkan kakinya lagi, Rafi, sebut saja begitu, yang merupakan.
seniornya, menghentikan langkah Vina.
“Eh,
Vina?” Rafi memanggil Vina.
“Iya
bang, ada apa bang?” Tanya Vina penasaran.
“Pulang
sama siapa?” Tanya Rafi pada Vina.
“Pulang
sendiri bang.” Jawab Vina.
“Oh,
yaudah, pulang sama abang aja.” Rafi menawarkan bantuan pada Vina.
“Eng...gak
usah bang. Vina naik angkot aja di depan.” Vina menolaknya dengan lembut.
“Yakin?”
Kata Rafi.
“Iya
bang.” Jawab Vina meyakinkan Rafi.
“Oh,
yaudah, abang duluan ya? Assalamu’alaikum.” Kata Rafi sambil melemparkan
senyuman kepada Vina.
“Iya
bang, wa’alaikumsalam.” Jawab Vina sambil membalas senyuman kepada Rafi.
***
Tanpa
diduga sebelumnya, pagi itu, saat masuk mata kuliah Teknik Bangunan, Vina
mendapati sosok pria itu. Ya, ternyata Rafi mengulang mata kuliah Teknik
Bangunan di kelas Vina. Awalnya sempat kaget, namun lama kelamaan menjadi biasa
saja.
Dua
setengah jam dilalui tanpa terasa. Di penghujung pertemuan hari ini, dosen Teknik
Bangunan mengumumkan kalau untuk pertemuan berikutnya, mereka akan masuk jam 07.00
pagi dan tak boleh ada satu pun yang telat. Hal ini dikatakan sang dosen karena
ingin mendidik mahasiswa-mahasiswanya untuk lebih disiplin dalam waktu.
Saat itu, sontak
membuat Vina, Wulan, Mirda, Sefti, Dina, Tia, Dhini, dan semuanya ketakutan dan
sempat berbisik satu sama lain atas keputusan dosen mereka tersebut. Ya, itu
artinya, mau gak mau mulai minggu depan mereka masuk jam 07.00 pagi.
Sama
seperti hari biasanya, hari ini Vina juga pulang sore. Hal ini karena ada
beberapa tugas kampus yang belum ia selesaikan. Maklum, Vina bekerja paruh
waktu. Pulang kuliah, ia harus membantu dosen. Bisa dibilang seperti Asisten
Dosen gitu. Usai dari ruangan dosen, ia harus pergi untuk mengajar les privat.
Maka dari itu, kalau bisa dibilang “tiada hari tanpa pulang cepat”, itulah Vina.
***
Hari
berlalu begitu cepatnya. Tak terasa hari esok sudah masuk saja mata kuliah Teknik
Bangunan. Mau gak mau besok Vina harus bangun cepat agar gak terlambat. Dan
untuk bisa bangun lebih awal, biasanya Vina harus tidur lebih awal pula.
Belum
sempat ia merebahkan badannya ke tempat tidur, tiba-tiba hpnya berdering.
Titiitt...tiitiiit...
Assalamu’alaikum, Vina, besok pagi abang
jemput ke rumah ya.
By : Rafi
Senyum
pun timbul pada raut wajahnya dengan malu-malu. Serasa ada hangat
menyelusup dada dan membuat jantung
berdegup lebih cepat. Otaknya pun sekejap bertanya, “Ada apa? Sungguh, bukan
apa-apa. Iya mencoba berhusnuzon.
Vina pun menjawab sms
dari Rafi dengan tak berlebihan.
Wa’alaikumsalam
Gak
usah bang, besok Vina pergi sendiri aja.
By
: Vina
Setelah itu, seperti
tidak ada jawaban apa-apa lagi dari Rafi. Namun, sepertinya Vina tak bisa tidur
cepat malam ini. 15 menit kemudian, baru mulai memejamkan matanya, lagi-lagi
ada pesan masuk.
Titiitt...tiitiiit...
Oh,
yaudah.
By
: Rafi
Saat
itu, barulah Vina dapat tertidur pulas, merebahkan badannya ke kasur empuk.
Mencoba memulihkan badannya yang seharian dipakai untuk berpikir dan bekerja.
***
Sinar
mentari masuk disela jendela kamar Vina, membangunkan Vina untuk segera
bergegas mandi, sholat dan bersiap-siap memulai aktivitas seperti biasanya.
Entah apa yang salah, tiba-tiba saja usai menyiapkan segala sesuatunya, Vina
mengambil handphone dan mengirim pesan pada Rafi.(Oh, my God. What’s wrong, Vin?)
Assalamu’alaikum
Maaf
pagi-pagi udah sms, bang
Bang
Rafi, Vina hari ni boleh nebeng?
By
: Vina
Dua menit kemudian, hp Vina
pun berdering...
Titiit...tiitiit...
Wa’alaikumsalam
Iya,
boleh. Nanti abang tunggu di depan simpang rumah Vina
By
: Rafi
Wah,
tampaknya pagi ini tak hanya mentari yang mengilaukan rerumputan. Namun, Vina
juga mengilaukan seantero rumah dengan wajahnya yang berseri-seri.
Usai
bersiap-siap, ia pun berjalan menuju simpang rumahnya. Masih sampai di depan
pintu, suatu hal mengagetkan Vina. Ternyata Rafi sudah menunggunya. Seperti
berubah derastis wajah dan hatinya. Mencoba menenangkan hatinya yang agak
cenat-cenut melihat sosok pria yang ada di depannya.
“Tenang,
ini bukan apa-apa, Vina. Ya, positive thinking aja.” Kata Vina dalam hati
mencoba menenangkan hati.
Tanpa
sepatah kata, Vina langsung naik dan mereka pun pergi menuju kampus dengan
motor antik milik Rafi.
Dipertengahan
jalan, tampak Rafi yang mencoba mencairkan suasana. Tak mungkin jika dalam
waktu hampir 30 menit, mereka hanya diam saja. Itu sama saja dong seperti abang
ojek dengan tumpangannya. (Emangnya Rafi tukang ojek Vina? Kan enggak. Haha,
cerocos si penulis.)
“Vin,
kayaknya abang liat setiap hari banyak kali yang Vina kerjakan.” Tanya Rafi.
“Hehe,
ya gitulah bang. Demi mendapatkan sesuap nasi.” Kata Vina.
“Sesuap
nasi dan sebongkah berlian?” Lanjut Rafi.
“Haha,
kayak lagu wali aja bang.” Kata Vina.
“Ternyata
bisa juga abang ini ngelawak ya?” Kata Vina dalam hati.
“Oh,
iya, tamat dari sini mau lanjut ke mana Vin? Apa mau lanjut S2 di bidang ini
juga?” Tanya Rafi.
“Hmm,
kalau dapat beasiswa, rencananya mau lanjut S2 bang. Tapi kalau gak dapat, ya
ngumpulin duit dulu.” Kata Vina.
“Oh,
insyaAllah adanya tu, beasiswa. Kan sekarang udah banyak Universitas yang ada
di luar nawarin beasiswa.” Kata Rafi.
“Iya
bang, semoga aja.” Kata Vina.
“Kalau
abang, habis tamat dari sini mau ke mana?” Tanya Vina.
“Abang
ngikutin arus aja Vin.” Kata Rafi.
“Haa...,
maksudnya bang?” Vina mendadak penasaran dan kepo.
“Iya,
ngikutin arus yang udah ditakdirkan sama Allah ke abang.” Kata Rafi.
“Tapi
kan walaupun Allah udah memberikan takdir sama setiap umatnya, toh umatnya kan
juga harus berusaha untuk mencapai apa yang dia inginkan.” Kata Vina pada Rafi.
(“haha, si Vina
lama-lama udah kayak ustadzah aja ya? Makin cocok aja tu sama si tetangga.”
Cerocos si Penulis)
“Iya,
abang ngerti maksud Vina. Abang juga punya target tapi, kan gak mesti abang
kasi tau ke orang-orang kan target abang. Jadi, abang bilang aja gitu.” Kata
Rafi.
“Oh.”
Kata Vina sambil bengong.
“Apa
sih maksud semua ini? Gak ngerti adek, bang.” Suara hati kecil Vina.
Tak
terasa, waktu berdetak sangat cepat. Sampailah mereka di kampus tercinta.
“Makasih
ya bang, nanti pulangnya nebeng lagi ya?” Kata Vina sambil meletakkan helm di
atas motor Rafi.
“Iya.”
Jawab Rafi.
***
Seperti
biasanya, ketika Vina sudah ngumpul dengan sahabat-sahabatnya, yaitu Wulan, Mirda,
Dina, Tia, Sefti, dan Dhini, pasti ada aja yang diceritain. Mulai cerita
tentang organisasi sampai ujung-ujungnya ke kisah percintaan yang islami,
katanya. :)
“Eh,
kok keliatan ceria kali muka si Vina? Ada apa gerangan?” Tanya Wulan kepada
sahabat-sahabatnya.
“Ya,
apalagi sebabnya, Lan, kalau bukan karna someone. We know lah...” Cerocos Tia.
“Haha,
susah ya yang punya fitrah.” Sambung Dina.
“Apasih
kalian ini, aku baru datang loh, udah di komen.” Sambung Vina sambil tersipu
malu.
“Eh,
tau gak?” Tanya Vina kepada sahabatnya.
“Enggak...”
Kata Wulan, Dina, Sefti, Mirda, Tia, dan Dhini dengan serentak.
“Hahaha..”
Mereka berbarengan nertawain Vina.
“Iih,
aku belom ngomong loh.” Kata Vina dengan muka merengut.
“Ada
yang gondok.” Kata Tia.
“Apa
Vin, aku kepo ni.” Sambung Mirda.
“Masa
tadi abang itu nanyakin aku nanti habis tamat dari sini mau kemana.” Kata Vina.
“Terus,
apa Vina bilang?” Tanya Sefti.
“Ya
aku bilanglah, kalau ada dapat beasiswa, mau lanjut S2 tapi kalau enggak mau
ngumpulin duit dulu, gitu ku bilang.” Kata Vina.
“Kalau
abang itu gimana Vin?” Tanya Dhini sama Vina.
“Iya,
habis itu kan ku tanya abang itu mau ngelanjut ke mana setelah tamat dari sini.
Terus abang itu cuma bilang abang ngikutin arus yang udah ditakdirkan Allah aja
untuk abang.” Kata Vina.
“Maksudnya?”
Tanya Wulan.
Baru
saja Vina ingin menjawab pertanyaan dari Wulan, tetiba dosen mata kuliah Teknik
Bangunan pun telah masuk ke ruangan. Saat itu terpaksalah percakapan mereka
terhenti sejenak.
“Nanti
kita lanjutin lagi ceritanya ya.” Kata Vina pada Wulan yang saat itu duduk di
samping Vina.
“Oke,
kalau udah ngomogin itu aja, semangat kali.” Cerocos Wulan membisikkan ke
telinga Vina.
“Hahaha...”
Vina tertawa pelan sambil menyubit tangan Wulan.
“Ih,
apasih, sakit tau.” Kata Wulan.
Ya,
itulah mereka, di saat dosen udah masuk dalam ruangan pun sempat-sempatnya
bercanda dan ngobrol kecil.
***
Usai
kuliah, seperti hari-hari biasanya, mereka selalu berkumpul di bestcamp mereka,
yaitu di ruangan diskusi. Namanya aja ruangan diskusi, namun nyatanya malah
ngegosip. Ups, tapi ada benarnya juga sih, itu kan termasuk dari diskusi.
Diskusi masalah yang non akademis.(Ngeles aja -_-)
Di situ, mereka
ngelanjutin percakapan yang tadi sempat tertunda karena dosen.
“Eh,
apa kelanjutan yang tadi Vin?” Tanya Wulan penasaran.
“Oh,
iya, aku bilang gini, kita kan gak mungkin hanya mengikuti arus takdir aja
bang. Kita kan juga harus berusaha mencapainya.” Kata Vina.
“Lalu...?”
Sambung Sefti.
“Abang
itu bilang, iya abang tau maksudnya. Cuma kan gak mesti abang kasi tau ke
orang-orang kalau tentang target abang? Makanya abang itu hanya bilang gitu.”
Kata Vina.
“Apasih?
Gak ngertilah. Bingung aku Vin.” Kata Dina dengan muka bingung.
“Iya Vin.” Sambung Wulan, Mirda, Sefti, Tia, Dhini, dan Dina.
“Nah,
itu dia kalian aja bingung, apalagi adek bang.” Kata Vina sambil tertawa.
“Ooo,
dasar sok cantik.” Sorak keenam sahabatnya.
“Hahaha...”
Vina tertawa terbahak-bahak.
“Eh,
udah jam berapa ni? Aku pulang ya? Mau nyuci pakaian.” Kata Dhini.
“Iya,
ni. Aku juga mau pulang cepat hari ni soalnya mau ke Supermarket dulu, mau beli
hadiah untuk adikku.” Kata Wulan.
“Iya,
aku juga mau ke sekolah, jemput adik.” Sambung Dina.
“Yaudah,
perbincangan kita hari ini sampai di sini dulu ya pemirsa.” Cerocos Vina.
“Entah
apa-apa yang dibilang si Vina lah.” Kata Tia dengan mukanya yang sinis.
***
Malam
ini Vina berniat untuk membuka akun jejaring sosialnya. Kebetulan ia juga lagi
free dari tugas-tugas kampus. Kalau bisa dibilang refreshing sejenak dari
tugas-tugas kampusnya.
Ketika
membuka jejaring sosialnya, kebetulan Rafi juga lagi online, dan Vina juga ada
perlu dengan Rafi. Vina pun menyapa duluan Rafi.
“Assalamu’alaikum,
bang ada buku Caracter Building?” tanya Vina dalam sebuah obrolan di jejaring
sosial.
“Wa’alaikumsalam,
ada Vin. Kenapa?” Jawab Rafi.
“Boleh
minjam bang?” Kata Vina.
“Iya,
boleh. Kapan perlunya?” Tanya Rafi.
“Besok
bang.” Jawab Vina.
“Oh,
yaudah, besok abang bawa ya.” Kata Rafi.
“Oke
bang, makasih sebelumnya bang.” Kata Vina.
“Iya,
sama-sama. Oia, besok mau bareng gak?” Tanya Rafi.
“Boleh
bang, kebetulan motor Vina juga lagi rusak, gakpapa kan bang?” Tanya Vina.
“Iya,
gakpapa. Besok seperti biasa ya, abang jemput di simpang.” Kata Rafi.
“Oke
bang.” Jawab Vina.
Sampai
sini, obrolan mereka terhenti. Wah, serasa sesak di dada saat Rafi menanyakan
hal itu lagi. Vina masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa arti dari
semua ini?
“Dia,
sering kali menawarkan tumpangan samaku. Dia juga sering sms diriku. Dan dia
juga sampai ingin datang ke rumahku dengan alasan hanya sekedar silaturahmi.
Lantas, apakah aku salah menafsirkan semua ini?” Tanya Vina pada dirinya
sendiri.
“Memang
iya sih, aku juga yang salah. Kenapa aku harus mau? Kenapa tak bisa aku menolak
permintaan itu, Vina?” Tanya Vina lagi pada dirinya.
Sangkin
pusingnya ia memikirkan hal itu, ia sampai tertidur dengan meninggalkan
laptopnya yang masih menyala.
***
Keruyukan
ayam pagi ini telah membangunkan Vina dari tidur panjangnya yang kurang begitu
nyenyak. Sama seperti hari-hari biasanya, pagi ini Vina kembali berangkat
kampus dengan Rafi. Tak ada yang berubah dari mereka. Setiap kali barengan,
layaknya dua buah patung yang saling diam dan membisu. Hingga keheningan itu
menyadarkan bahwa mereka telah sampai di suatu tempat yaitu “kampus”.
Sesampainya
di dalam ruangan, Vina selalu menceritakan kejadian yang dia alami pada keenam
temannya.
“Bareng
lagi hari ini? Wah, sekarang udah kayak minum obat ya Vin. Tapi ini bedanya 3
kali seminggu.” Kata Sefti sambil tertawa.
“Haha,
jangan gitu lah. Iya-ya, aku juga gak ngerti dengan hatiku saat ini. Semua
bercampur jadi satu seperti gado-gado.” Jawab Vina.
“Udah
stadium berapa Vin?” Ledek Wulan.
“Masih
stadium 1.5 kok.” Kata Vina.
“Haha...”
Terdengar suara mereka seantero ruangan.
“Gawat
ni anak, rasa kagumnya udah parah kali sama bang Ra...” Cerocosan Tia terhenti
kala Rafi tiba-tiba saja lewat dari ruangan mereka.
“Ssstt...,
diam, ada abang itu.” Kata Sefti.
Mereka terdiam sejenak
lalu kembali berbincang setelah Rafi lewat.
“Vin,
ingat, jangan terlalu berlebihan, entar yang ada jadi zina.” Kata Dina sambil
melihat ponsel barunya itu.
“Iya
Vin, kami semua hanya mengingatkan karna kami tu peduli sama Vina, sang berbi
eksotis.” Kata Dini.
“Iya,
makasih ya semuanya karna udah mengingatkanku akan hal itu.” Kata Vina dengan
muka yang sontak berubah dari tadinya riang, jadi lesu.
Apa
yang teman-teman Vina bilang ke dirinya memang sangatlah benar adanya. Pasalnya
ia saat ini begitu mengagumi Rafi, seniornya itu. Terlebih lagi Rafi merupakan
sosok pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Begitu pula halnya dengan
Rafi, diam-diam Rafi juga mengagumi juniornya itu. Namun rasa kagum Rafi tidak
melebihi rasa kagum Vina terhadap Rafi.
Awal
mula Rafi tertarik pada Vina karna ia adalah sosok wanita yang pekerja keras
dan pintar. Tau sendirikan, Rafi paling suka melihat seorang wanita yang
pintar.
***
Menyudut,
menyendiri, dan melamun, itulah hal yang Vina lakukan saat berada di kamarnya.
Hatinya tak tenang, ia terus saja memikirkan apa yang telah temannya katakan.
Ia kembali bermuhasabah dirinya dan mengadu pada Zat yang menciptakan rasa
cinta. Dia lah sang Maha membolak-balikkan hati.
“Ya
Robb, mungkin aku telah salah langkah selama ini. Walau ku tau itu bukan yang
Kau inginkan, namun aku terus saja melakukannya. Maafkan diriku ini yang telah
salah menafsirkan fitrah dari Mu. Karna sesuatu yang salah, aku bahkan tak
memperdulikan-Mu lagi. Bahkan hanya sekedar menyapa-Mu lewat dzikir dan sholat
malamku pun sudah tak lagi ku lakukan.” Kata Vina sembari mengadu dan mohon
ampun pada sang Pencipta.
“Ya,
aku harus memperbaharui niatku. Bukan untuk seorang pria, tapi untuk kedua
orang tua dan Robbku. Aku hanya mampu berhusnuzon pada-Mu, jika memang suatu
saat kelak aku dan dirinya memanglah berjodoh, maka pertemukanlah kami. Tapi
jika tidak, maka jauhkanlah kami, dan berikanlah aku seorang pria nantinya yang
mampu menjadi imam yang baik buatku, Robb.” Kata Vina kembali mengadu
Mulai
saat itu, ia merestart niatnya. Vina kembali memfokuskan dirinya pada
cita-citanya. Untuk dapat mengaplikasikan niat barunya, ia sengaja menyibukkan
dirinya dengan bekerja.
Begitu
juga dengan Rafi, setiap kali hatinya sedang gundah gulana, ia selalu
mengadukannya pada Sang Pencipta. Kebetulan Rafi juga mempunyai seorang paman
yang memiliki pondokan. Jadi, untuk dapat merubah segalanya dan menjernihkan
kembali pikirannya, Rafi pun memutuskan untuk mondok dan lebih memahami ilmu
islam lebih dalam.
Usai
mengadu, Rafi dan Vina pun memutuskan untuk tidak saling chattingan, smsan,
maupun pergi sama.
***
Hujan
mengguyur kota karesidenan pagi ini. Langit sangat gelap. Bahkan alam pun tau
bahwa pagi ini sangatlah mendung. Sama seperti hati-hati dua insan yang
terjangkit virus merah jambu.
Vina
berjalan dari parkiran menuju ruangan. Sempat jumpa dengan Rafi kala itu. Namun
hanya menyapa satu sama lain, gak lebih. Seperti kembali ke masa awal saat
pertama kali masuk kuliah. Mengenal tapi tak akrab.
“Ada
apa Vin? Mendung kali kayaknya ya, sama kayak langit mendungnya.” Tanya Dina
kepo.
“Gak
apa, oh, iya, mulai saat ini aku tak lagi ngechat, sms, atau apalah itu ke bang
Rafi.” Kata Vina
“Loh,
kenapa Vin?” Tanya Sefti polos.
“Loh,
bukannya kalian sendiri yang nasihatin aku kemarin? Kok balik nanyak?” Tanya
Vina.
“Hehe,
kami pura-pura gak tau aja.” Cerocos Dhini.
“Udahlah
Vin. Jodoh pasti bertamu kok, tenang aja.” Kata Wulan.
“betol
itu Vin, mulai sekarang jangan galau-galau lagi ya.” Kata Mirda.
“Iya,
makasih sahabatku yang ku cinta karna Allah, uhibbukifilllah.” Kata Vina sambil
memeluk keenam sahabatnya tersebut.
“Uhibbukillah
too.” Jawab Sefti, Mirda, Wulan, Dhini, Tia, dan Dina dengan serentak sambil
memeluk Vina.
Linangan
air mata penuh cinta dan kebahagiaan pun jatuh dari wajah Vina. Ia merasa
beruntung mempunyai keenam sahabat yang selalu ada di saat dia senang maupun
susah dan juga selalu memberikan nasihat ketika memang Vina melangkah ke tujuan
yang salah.
Vina
yakin dan percaya dengan apa yang sahabatnya katakan bahwa “jodoh itu pasti
bertamu”.